Monday, July 19, 2010

1604 #007

*Plop*
Mendadak ada sms masuk ke blackberryku. Pesan singkat dari atasanku. Prada, besok temani saya meeting ya! Ada penawaran dari klien baru. Saya tunggu di Patra Jasa pukul 9 pagi. Bisa dibilang saya termasuk anak emas Bos Ratu. Begitu kami memanggil Pemimpin Redaksi kami. Tidak ada yang bisa menolak permintaannya, bahkan dia terkesan tidak pernah meminta, semua diputuskan olehnya. Kadang menyebalkan, namun apa mau dikata, toh dia atasanku.

Sebagai "anak emas" Bos Ratu, aku selalu diberikan privilege lebih di antara teman-teman sekantor. Kadang aku bisa memutuskan sendiri apa yang mau kuliput, bahkan pernah beberapa kali aku yang menetapkan isu untuk satu edisi.

Baik, bu. Selamat malam. *SMS sent*

Kulirik orang-orang sebelahku, terlihat sekali mereka gelisah, terlebih lagi Jeko. Sudah terlalu malam. Aku harus pulang. "Aku pulang duluan ya? Besok ada meeting pagi, aku tidak boleh telat untuk hal ini. Jeko, kamu baik-baik saja kan? Tenang, Zi pasti baik-baik saja," ujarku sambil tersenyum pada Jeko. Jeko masih belum banyak bicara. Hanya enam patah kata. "Iya, kamu hati-hati di jalan," ujar jeko.

Setelah pamit kepada semua orang yang masih menemani Jeko, aku pun beranjak ke arah pintu keluar. Tiba-tiba. "Prada!" Ada yang memanggilku. Oh ternyata si hippies. "Ya?" "Aku juga mau pulang, biasa jadwal ngamenku sebentar lagi. Tenang, si Jon sudah kubayar untuk menemani Jeko takut mendadak perlu apa-apa," imbuh si hippies alias Kolab. Itu nama aslinya. "Baiklah," ujarku sambil tersenyum. Dan kami pun meninggalkan Hermina menuju Seguni.

Kami memutuskan untuk naik taksi. Beruntung ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang di lobi. Segera kami stop untuk ditumpangi.

"Oh iya, maaf yaa kameranya belum dikembalikan. Masih belum saya transfer foto-fotonya ke laptop saya," ujarku memecah keheningan taksi ini.
"Ohh iya ga papa, lagipula kan saya sudah bilang, saya punya banyak kamera. Jadi kalau cuma satu yang dipinjam sih ga masalah. Kalau semuanya baru, sayanya kelabakan. Hahahahaha," si hippies ternyata periang. Bisa kunilai dari gelak tawanya yang begitu lepas. "Jadi, bagaimana Solo?"
"Solo menyenangkan. Pekerjaan di sana lancar, thanks to your camera," ujarku sambil tersenyum.
"Hahahaha, sama-sama. Senang bisa ngebantu kok. Tadinya saya mau ke Solo juga, cuma ga jadi."
"Loh? Mau ke Solo juga? Kenapa ga jadi?"
"Iya, ga jadi aja, hehehhee.. CJ mendadak bilang ga usah kesana, jadi ga jadi deh,"
"CJ?"
"Itu, si calon janin Zi. Dia sering main ke kamarku. Dia temanku, bahkan terkadang jadi penasehatku," Kolab tidak berhenti tertawa. Semua perkataannya diselipkan dengan tawa. Namun ia mendadak tertunduk. "Semoga CJ baik-baik saja ya. Dia bilang sih dia baik-baik saja. Semoga dia benar." Mendadak raut muka si hippies sedikit tertekuk.
"Aku yakin mereka baik-baik saja," ujarku sambil tersenyum berharap sedikit meredakan kesedihannya.

Tidak terasa kami sudah sampai di depan Apartemen Seguni. Usai membayar si taksi, kami beranjak pergi menuju lobi. "Mbak Prada, Mas Kolab. Mbak Zi baik-baik saja kan ya?" tanya Susi si gadis lobi. "Tadi masih dioperasi. Semoga semuanya baik-baik saja ya? Kamu berdoa juga ya, Susi," jawabku. "Pasti mbak! Oh iya. Liftnya sudah benar." "Terima kasih yaa, Susi," tuturku sambil meninggalkan Susi.

Kupencet angka 16. Kulirik Kolab, dia masih agak diam, maksudnya, tidak seceria tadi sebelum membahas janin Zi. "Kamu ga papa, Kolab?" tanyaku. "Hm? Oh ga papa, hehehe," jawabnya sambil menyengir. Wah? Cepat sekali perubahan emosinya.

*Ding*
Kami sampai juga di lantai 16. Sepi. Jelas.
"Nanti aku ke kamarmu ya setelah selesai memindahkan datanya," ujarku pada Kolab yang sudah beranjak ke kamarnya.
"Oke," jawabnya singkat.

Kubuka pintu cokelat tuaku. Kulewati pantry yang masih berhiaskan piring dan gelas bekas yang belum dicuci, hmmm mungkin sejak seminggu yang lalu. Si malas masing menggerogotiku. Segera kuberanjak ke meja kerjaku. Letaknya sejajar dengan kasur king size-ku. Nyalakan si toshi, transfer foto, charge PSP, kembalikan kamera, mandi, tidur. Rentetan agenda beberapa menit ke depan sudah sibuk mengantre di kepalaku. Oke, oke, satu-satu.

Dalam hitungan menit, kamera si hippies sudah ada di tanganku. Siap dikembalikan ke si empunya yang punya barang. Beranjaklah aku ke kamar si hippies. Seperti biasa, pintunya terbuka begitu saja. Oh ada tamu ternyata. Hmm, bau ini. Pasti Sherry.

"Permisi," ujarku sambil mengetuk pintu dan masuk. "Oh kamu di sini juga, sher?"
"Eh, Prada. Iya nih, lagi cerita-cerita aja sama Kolab. Tadinya mau cerita ke kamu, tapi kamunya belum pulang tampaknya," tutur Sherry yang asik meneguk bir daritadi.
"Oh, tadi ke rumah sakit,"
"Iya si Kolab ini juga baru cerita. Semoga Zi baik-baik saja ya."
Kolab masih asik menyetem gitar. Sesekali meneguk bir yang semerk dengan yang dipegang Sherry.
"Kolab, ini kameramu. Terima kasih banyak ya,"
"Sip. Sama-sama. Kalau perlu apa-apa lagi. Tinggal kesini aja. Ga usah ragu-ragu lah," ujar Kolab yang masih asik sendiri.
"Oke. Aku ke kamar ya. Sher, aku ke kamar ya. Kamu kalau ada apa-apa, ke kamar aja. Oke?" ujarku seraya meninggalkan mereka berdua. "Oh! hampir lupa! Kamu sudah baca artikel-artikelku?"
"Belum semuanya. Tadi baru sekilas-sekilas saja. Terima kasih ya! Pasti aku baca," jawab Sherry sambil tersenyum. Manis. Semanis wangi parfumnya yang khas itu.

Aku beranjak ke kamarku. Mandi. Tidur. Tinggal dua pengantre di otakku. Selamat malam kalau begitu :)

Saturday, July 17, 2010

1604 #006

Selesai juga tulisan tentang si Kanker Serviks ini. Lumayan, minggu ini deadline tidak seburu-buru biasanya. Inilah enaknya liputan ke luar kota, aku hanya perlu menyelesaikan beberapa tulisan dari satu isu. Peer tulisan untuk deadline minggu berikutnya pun diberikan kepada orang lain. Sayang, untuk satu edisi belum tentu ada liputan ke luar kota, dan kalaupun ada, dan belum tentu diberikan padaku.

Kuputuskan untuk print tulisan-tulisan tersebut dan akan kuberikan pada Sherry. Ya, Sherry, si gadis yang selalu wangi. Kehadirannya mudah sekali kukenali, bila ada wangi parfum--kadang tercampur bau alkohol--di pelataran apartemen ini, bisa dipastikan itu Sherry.

Nah, sudah ter-print semua. Matikan Toshi, ambil si LV, coat hitam--belakangan ini Bandung terlampau dingin, oh tak lupa si blackberry, mari keluar sekalian cari makan. *Ting, tong.. Ting, tong..* Hmm, mungkin Sherry belum pulang. Kuputuskan untuk menyelipkan kumpulan tulisan ini di bawah lantai pintu Sherry. Kuambil secarik kertas dan kutulis:

Untuk Sherry,

Maaf kalau aku lancang, tapi artikel-artikel ini mungkin berguna untuk kamu :)

Prada Prameshwari

Sudah. Mari cari makan!

****

Cihampelas Walk malam ini ramai sekali, bahkan terlalu ramai. Kuputuskan untuk makan malam di Gokana bersama teman baikku, Minna. All single ladies, all single ladies... Kulirik sedikit si blackberry sambil terus mengunyah Yakimeshi. Syamina Walendra Prameshwari alias Ibuku. Agak malas sebenarnya kujawab telepon si ibu. Paling-paling beliau beraksi lagi ala matchmaker sejati. Ya, inilah kerjaan ibuku baru-baru ini, jodoh-menjodoh ala jaman Siti Nurbaya. Keluargaku jawa asli, Yogyakarta lebih tepatnya. Ibuku keturunan asli Adipati Mangku Bumi. Sayangnya, si darah biru kerap membuatku terbelenggu, membeku. Apalagi kalau bukan masalah calon suami.

Usiaku baru menginjak angka 27 tahun ini, namun Ibuku sudah heboh sendiri mencari calon suami untukku. Memang tinggal aku yang belum menikah di antara 2 saudara tertuaku. Bukannya tidak laku, namun seperti yang aku bilang tadi, darah biru ini kerap membuatku membeku. Tidak bisa memilih sesuai dengan keinginanku. Permasalahannya terletak di suku adat si calon suami. Keluargaku, oh lebih tepatnya Ibuku, hanya mau menerima calon suami yang berasal dari keturunan kerajaan asli. Apalagi kalau bukan masalah gengsi. Bilangnya sih, demi menjaga silsilah. Ah, pikiranku terlalu liberal untuk itu. Makanya sampai saat ini aku memutuskan untuk menyibukkan diri daripada memikirkan si calon suami yang harus keturunan asli. Blah.

*Klik* Akhirnya kujawab juga telepon Ibuku.
"Kamu dimana mbak? Kok telepon Ibu lama sekali dijawabnya? Kamu lagi apa toh?"
imbuh Ibuku. "Lagi makan, bu. Ini sama Minna temanku. Ada apa, bu, telepon jam segini?"
"Ini Ibu baru pulang dari arisan Ibu-Ibu Dharma Wanita. Terus tadi Ibu dikenalkan sama keponakan Bu Timya. Ternyata dia juga orang Jogja loh mba! Blablablabla...." Sengaja kujauhkan telingaku kalau urusannya sudah begini. Hitung 10 detik, baru pasang kuping kembali, dan Ibuku pasti masih basa-basi. Ah mumpung ada Minna, jadi dia bisa kujadikan alasan untuk menyudahi percakapan ini.
"Ibu, Ibu, (aku harus memanggil beberapa kali sampai akhirnya Ibuku berhenti berbicara sendiri), Ibu, ini aku lagi makan loh sama Minna. Gak enak terima telepon di depan orang begini. Ibu telepon saja nanti lagi ya?" ujarku memotong kalimat panjang si Ibu. "Oh begitu? Yasudah. Nanti Ibu telpon lagi ya, mbak. Ini anaknya baik sekali loh. Tadi saja Ibu diantar pulang ke rumah." imbuh Ibuku tetap promosi. "Iya, bu. Sudah ya. Selamat malam Ibu, salam sama Bapak yaa."

Akhirnya. "Barang baru lagi ya?" ledek Minna sambil tertawa. "Ah sial kamu, udah ah." ujarku sambil agak cemberut.

Selesai makan kuputuskan untuk membelikan Jeko makanan, beli J.Co aja kali ya? Tatitutatitut. Tuuutt. Tuuttt. Kuputuskan untuk menelepon Jeko terlebih dahulu, barangkali dia tidak pulang malam ini.
"Halo, Jeko? Aku lagi di Ciwalk nih, kamu pulang ga malem ini? Aku mau belikan J.Co kesukaanmu." Terdengar sesenggukan di ujung sana. Aku panik. "Jeko? Jeko? Kamu ga papa??" Tiba-tiba ada yang berbicara, bukan suara Jeko. "Halo, mba Prada ya? Saya Jon, supir taksi. Saya juga pernah nganter mba kok."

"Loh supir taksi? Emang Jeko lagi dimana?? Jeko ga papa??" ujarku makin panik. "Tenang mba, Jeko ga kenapa-napa. Ini kita lagi di rumah sakit, mba Ziantine tadi terjatuh dari tangga. Pendarahan. Ini saya juga lagi nunggu si Kolab, katanya mau kesini juga." tutur Jon.

"Hahh???? Zi jatuh?? Astaga! Yaudah saya langsung ke sana juga! Rumah sakit mana sih?" Selesai Jon menyebutkan nama rumah sakit tempat Zi dan Jeko berada, aku memutuskan langsung bergegas ke J.Co untuk memesan. "Dua lusin, mas! Cepat ya! Campur aja semuanya! Oh, Alcaponenya yg banyak ya!"

Aku pun berpamitan dengan Minna dan bergegas menaiki taksi di depan Mall ini. "Ke Hermina pak! Ngebut ya!"
Untung si supir taksi cukup lihai. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di rumah sakit bersalin ini. Akupun bergegas ke UGD. Mungkin masih pada disana, pikirku. Dan benarlah, kutemukan Jon si supir taksi, Kolab si hippies, Beng si misterius, dan Jeko yang tertunduk masih menangis.

Kulihat pintu UGD, lampu merahnya masih menyala.
Semoga Zi tidak apa-apa.

Monday, July 12, 2010

1604 #005

Saatnya pulang!
Sudah tiga hari kuhabiskan waktu di Solo. Seminar sudah didatangi, feature sudah diberesi, oleh-oleh sudah ditentengi, keluarga Jeko sudah dikunjungi, dan akte kelahiran si Jeko pun sudah mau dikoperi (agak aneh bahasanya, dikoperi, tapi ya sudahlah ya). Kucermati sekali lagi akte kelahiran si Jeko. Rasuna Adikara, ujarku sambil tertawa. Bisa-bisanya nama sebagus ini diubah menjadi Jeko. Kalau sedang di rumah orang tua Jeko, kadang agak canggung kalau aku harus memanggil Jeko dengan nama aslinya, kadang aku memanggilnya Adi. Lebih aman.

Ah besok sudah Senin lagi, template keluhanku setiap hari Minggu. Jadwal penerbanganku pukul 14.15 WIB. Kulirik jam tanganku, sudah setengah sebelas, lebih baik langsung check out saja. Pak, Timo, orang suruhan kantorku sudah sigap menunggu di lobi semenjak pagi. Aku sudah siap meninggalkan kota ini.

"Pak, saya mau makan dulu, di Nasi Liwet Gajahan ya!" "Siap, mbak." Gludug, gludug. Wah? Mendung ternyata. Semoga jangan hujan sampai pulang nanti! Untung cara makanku tak lama, jadi cukup setengah jam saja aku menghabiskan satu porsi nasi liwet ini. Saatnya ke Adi Soemarmo. Kulirik lagi jam tanganku, jam setengah 12. Sampai di bandara, sang langit mulai bersuara lagi. Ah, sial. Semoga penerbanganku tidak delayed! Pak Timo pun mengucapkan pergi, ucapan terima kasihku mengakhiri perjumpaan kami.

Segera aku menghampiri customer service bandara ini, menanyakan akankah ada kemungkinan penerbangan ke bandung tertunda atau tidak. Berita buruk. Si mbak-mbak customer service mengatakan bahwa memang ada kemungkinan semua penerbangan tertunda hari ini, diperkirakan akan ada angin besar. Sial. Saat kutanya kira-kira berapa lama tertundanya, mbak Iva Nurnami--begitu nama yang kubaca di pin dada kirinya--mengatakan "Mungkin satu sampai dua jam, nanti kami pasti informasikan."

Aku pasrah, akhirnya setelah mengurusi segala urusan pertiketan, aku memutuskan menunggu di Starbucks saja. Segelas Frappuccino Blended Caramel sudah menari-nari di otakku. Frappuccino sudah di tangan, lebih baik aku online saja. Si Toshi--nama laptopku--kukeluarkan dari koper kecilku. Cek e-mail, Facebook, Twitter, dan tak lupa cek rilisan game RPG terbaru. Yang terakhir adalah kegiatan favoritku. Satu jam, dua jam, tiga jam. Akhirnya ada datang juga pengumuman tentang penerbanganku. Satu jam lagi. Oke, kuhadapkan lagi wajah ini ke si Toshi.

Akhirnya aku sudah duduk manis di pesawat ini. Kulirik lagi jam tangan ini, sudah jam setengah lima. Rasanya ingin segera sampai di rumah. Tidur saja.

Sudah pukul 17.45 WIB, dan aku sudah duduk manis di taksi dalam perjalanan ke rumahku. Untung jalanan tidak macet dan menambah ruwet otak ini. Apartemen Seguni. Sudah sampai. Kulewati lobi, dan kupencet lift apartemen ini, lantai 16. Sampai lantai 16, lift terbuka. Wah, tumben, masih jam segini, tapi lantai ini sepi sekali. Terlalu sepi. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke kamarku. Ingin segera menyentuh air panas dan tidur. Kulirik kamar 1606, wah sudah ada penghuninya ya? Kira-kira orangnya seperti apa ya? Ah besok saja berkenalannya. Atau nanti malam di saat jeko sudah mulai mengetok kamar.

1604 #004

Ah, sudah sabtu saja! Keluhku saat membuka mata pagi ini. Sekarang Sabtu, artinya besok Minggu, yang artinya jadwal pulangku. Rasanya belum ingin aku meninggalkan kota ini. Apalagi setelah kemarin Radita menemaniku sepanjang hari di kota keraton ini. Mengulang tradisi kuliner kami. Serabi Notosuman, Tengkleng Klewer, Cambuk Rambak, Bakso Kalilarangan, Timlo Sastro. Ah! Makanan itu masih bersisa di mulutku. Rasanya ingin menelepon Radita untuk kembali mengajakku hunting kuliner lagi. Tapi, data tulisan dan rekaman ini sudah menari-nari minta dikuliti.

Kanker Serviks. Mengingat isi seminar kemarin langsung mengingatkanku pada Sherry, tetangga sebelah kamarku. Hmm, bagaimana aku menjelaskannya ya, yang jelas aku agak khawatir padanya.

"Risiko menderita kanker serviks adalah wanita yang aktif berhubungan seks sejak usia sangat dini, yang sering berganti pasangan seks, atau yang berhubungan seks dengan pria yang suka berganti pasangan."

Kutipan wawancara dengan sang dokter ahli ini membuatku merinding. Bahaya Kanker Serviks ini terlalu mengusik, pasti akan kuberikan tulisan ini pada Sherry!

Gaya berpasangan manusia jaman sekarang sudah sudah tidak terbatasi, tapi bukan jelas hakku untuk menghakimi. Sikapku sejauh ini hanya memperingati tentu dengan memberikan bukti sampai ia mengerti sendiri, mungkin saja berhenti.

Ah cukup sudah dengan gaya hidup, saatnya menyelesaikan feature ini, si data rekaman dan handout ini sudah minta ditelanjangi. Oke, dimulai dari rekaman ini.

1604 #003

Ini hari keduaku berada di kota batik ini, Surakarta, atau mungkin sekarang lebih dikenal sebagai Solo yang kadang dipelesetkan menjadi Oslo. Ingat Solo jadi ingat Almarhum Gesang yang baru meninggal baru-baru ini. Almarhum Gesang dengan lagu Bengawan Solo-nya yang cukup mendunia. Sudah beberapa kali aku ke kota tua ini, belum juga kusempatkan melihat si sungai legenda itu. Entah berapa kali sudah aku memaksa Jeko mengajakku ke sana, tapi alasannya selalu sama, besok ya. Dan kalau sudah begitu, besoknya pasti lupa, dua-duanya lupa. Baru ingat lagi nanti kalau sudah mau pulang, ujung-ujungnya, tidak sempat lagi. Bosan sudah dengan Jeko si tukang janji.

All single ladies, all single ladies.... Ah, ada apa lagi si Beyonce menyanyi? Rasuna Adikara.Jeko? "Halo? Kenapa Jek?" "Hey, kemaren ngetuk kamarku, ada apa ya?" "Ohh, “aku mau pinjam kamera tadinya, kamu gak ada. jadinya aku pinjem ke hippies sebelah kamarmu" "syukurlah, lagipula kameraku juga sedang rawat inap di reparasi, tertular kameramu yang mendadak tak bisa nyala. memang kau pergi berapa lama, sedang tugas ke luar kota ya? habis tumben tv-mu ditinggal nyala" "aku ke Solo, ke kampung halamanmu, ada liputan seminar kanker serviks" "lho kamu ke Solo kok gak kabari aku, nanti biar aku hubungi Radita untuk menemanimu, nginap saja di rumah orangtuaku, sekalian nanti aku minta tolong titip bawa akta lahirku" "nggak usah, aku nginep di hotel, sudah disediakan kantorku, terimakasih. biar nanti Radita aku hubungi, suruh ke hotelku saja, sudah lama juga aku gak ketemu dia, biar sekalian nanti dia bawa akta lahirmu"

Kuingat-ingat, sudah lama juga aku tidak ke kota ini, kampung halaman Jeko. Biasanya kalau ada waktu senggang, aku iseng menemani Jeko yang juga iseng pulang kampung. Mungkin tidak ada yang percaya, di balik dandanannya yang serba berantakan itu, Jeko tipe penyanyang Ibu. Makanya dia selalu menyempatkan setidaknya dua sampai tiga kali pulang ke kota ini demi menemui sang Ibu yang dikasihi. Kalau sudah begitu, aku biasanya merengek minta ikut, sampai rela bolos kerja. Tapi itu dulu, mungkin kira-kira terakhir akhir tahun lalu. Dengan kesibukanku yang tidak menentu ini, sudah tidak mampu lagi aku iseng menemani. Maklum wartawati.

Ah, Radita. Apa kabar ya dia? Data wawancara dan seminarku sudah kurapihkan, tinggal dibenahi esok hari. Kujadikan saja hari ini hari leha-leha sedunia. Telpon Radita! "Halo, Radita? Ini mbak Prada, masih inget kan? .................................."

Friday, July 9, 2010

1604 #002

Hari ini terasa melelahkan sekali. Mungkin bawaan rapat deadline pertama bulan ini yang sangat alot sampai memakan jadwal lulurku. "Ah, sial! Ga jadi luluran kan minggu ini. Mana sempet besok-besok lagi," gerutuku sambil menyenderkan kepala ke jendela taksi biru ini. Luluran di salon langgananku memang sudah jadwalnya kalau selesai deadline begini, demi relaksasi. Minggu ini malah tidak jadi.

Rasanya ingin segera sampai di rumah. Ya, rumah. Apartemen kecilku itu kini sudah bisa kusebut 'rumah', dibandingkan rumah asli masa kecilku yang notabene adalah rumah orang tuaku. Di sana sudah tidak nyaman lagi. Penuh cek-cok sana sini. Ini salah satunya alasanku pindah ke apartemen Seguni ini. Meskipun kecil, namun membawa ketenangan untuk hidupku yang cukup ruwet ini.

Kulihat Guess emasku, sudah jam sepuluh lebih. "Pak, tolong dipercepat ya, lewat mana gitu, terserah deh," ujarku pada si pak supir taksi. "Baik neng," ujar si bapak taksi sambil melirikku lewat spion atas. Kuputuskan untuk memejamkan mata sejenak berharap akan memangkas waktu di taksi ini.

"Neng, sudah sampai," sentuhan si supir taksi membangunkan nyenyakku di alam tadi. "Oh? Sudah sampe? Iya, iya, sebentar pak," ujarku seraya membereskan tatanan rambut dan memakai kembali si hak tinggi. "Berapa?" "35 ribu neng," "Ini pak, ambil saja kembaliannya," ujarku seraya memberikan dua lembar uang 20 ribuan. "Oh, makasih neng, selamat istirahat ya neng, sepertinya neng butuh itu," ujar si bapak supir sambil menutup pintu seraya tersenyum padaku. "Iya, terima kasih banyak ya pak," kataku seraya membuka pintu Apartemen Seguni-ku.

Akhirnya sampai juga di 1604. Kubuka pintu. Ingin segera kurebahkan tubuhku. Namun kuputuskan untuk mandi dulu. Handuk sudah di bahu. Panaskan air dulu. Beberapa menit kemudian sudah kurebahkan tubuhku di bathtub cokelat tua kamar mandiku. SEGAAAAARR!Ranjang empuk sudah menari-nari di otakku. Tak lama-lama aku menyegarkan diri, segera kusudahi acara mandi ini. All single ladies, all single ladies...... Nyanyian Beyonce mendandakan ada panggilan untukku. Wah, pemredku.

"Halo?" "Prada, kamu sudah sampai?" "Oh, sudah bu, ada apa ya?" "Ini, besok mendadak ada event di Solo, ada seminar tentang kanker serviks di sana, si Kina mendadak ga bisa, dia barusan sms saya. Kamu bisa liput ya? Saya sudah pesankan tiket ke Solo untuk jam 9 besok pagi, langsung ke bandara aja, ada si Toto di sana yang ngasih tiketnya. Jangan lupa kamera. Kamu liputan sendiri kali ini, oke?" Penjelasan panjang lebar sang Pemimpin Redaksi, Diandra Pandania, untuk liputan mendadak besok pagi menjadi penutup ruwet hariku ini. Maklum wartawan, jam kerjanya tidak pasti. Selalu ada dadakannya.

Belum sempat kurebahkan tubuh ini, kusempatkan packing dulu buat besok. Bawa seadanya saja, pikirku. Baju, celana, pakaian dalam, peralatan mandi, make up. Lengkap. Sudah. Ah! Kamera! Aku baru ingat, kameraku masih ada menginap manis di tempat reparasi. Sial! Pinjem siapa udah malem gini? Oh! Jeko! Aku baru ingat, pinjam ke dia saja! Segera kuberalih ke pintu menuju kamar 1602 itu. Tok. Tok. Tok. Jeko masih belum membukakan pintu, kulirik jam di handphoneku, jam 12, masa sih udah tidur? Trrriiitt. Kuputuskan memencet bel yang bunyinya agak aneh itu. Masih belum ada jawaban. Ah, ke siapa lagi ya? Jreng Jreng Jreng. Gitar si hippies kamar 1600 memberikanku ide. Pinjam ke dia saja! Barangkali punya.Meskipun pintunya terbuka begitu saja, aku memutuskan tetap mengetuknya. Ini soal etika. Dan segera kumenemukan sosoknya.

"Boleh masuk?" "Oh, masuk-masuk," ujarnya serasa menyelipkan rambut ke kupingnya. Rambutnya panjang terurai. Lebih panjang dari rambut saya. "Tumben masih di sini jam segini? Ga keluar?" "Oooh, engga. Lagi pengen aja malem ini di sini, sambil nyetem gitar ga bener-bener." "Ohhh...Eh iya, kamu ada kamera? Punya saya masih di tukang reparasi, tapi besok ada liputan dadakan ke Solo," ujarku langsung ke tujuan. "Oooh, kamera. Ada, ada. Sebentar ya." Ia pun menaruh gitarnya dan beralih ke lemari di sudut ruangan ini, mengambil kamera. Untunglah dia punya! "Nih, pake aja, saya lagi ga pake kok," ujarnya seraya mengambil gitarnya lagi. "Oh, iya. Boleh pinjam ya? Nanti pulang dari sana saya langsung balikin." "Sip" Pembicaraan dengan orang ini memang singkat. Selalu singkat. Mungkin memang dia tidak banyak bicara.

Dan saya pun keluar dari ruangan itu dan kembali ke kamar. Kamera sudah dapat, perlengkapan lengkap. Saatnya tidur. Solo untuk esok hari.