Saturday, April 28, 2012

Perkara Punya Anak

Mereka bilang, perempuan sudah jadi seutuhnya sempurna ketika mereka sudah melahirkan anak, apalagi melahirkannya secara normal. Beragam pujian menyambangi pribadi perempuan itu. Believe me, I don't trust those silly things. Pernyataan yang menurut saya hanya mendiskreditkan seorang manusia yang diberi label perempuan. Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa punya anak? Tidak sempurna begitu maksudnya? Memangnya penyakit yang dideritanya itu mau mereka? Bukankah manusia sudah diciptakan sempurna menurut gambar Allah? Begitu bukan katanya?

So stop saying that 'sempurna' thing on human being. Kita semua sempurna. Saya bahkan tidak setuju dengan kalimat 'saya bersykur karena saya lebih beruntung dari pada mereka.' Oh like pretty please, semua orang beruntung dalam halnya masing-masing. Selalu ada 'saya punya tapi kamu tidak'. Ingat, dalam berbagai hal tentu saja. Tidak ada yang lebih karena Tuhan menciptakan semua manusia setara. Jadi jangan juga mengatakan bahwa perempuan yang bisa melahirkan anak dari rahimnya sendiri itu lebih beruntung dari mereka yang tidak bisa punya anak. Tuhan itu adil, tidak ada siapa yang lebih beruntung daripada siapa.

Kembali ke perkara punya anak. Berapa di antara orang tua di dunia ini yang meminta anaknya semacam 'membalas budi' atas usaha dan biaya yang orang tua keluarkan ketika membesarkan anak tersebut? Mungkin banyak yang terselubung, tapi banyak yang membahas dan meminta. Kalimat ampuhnya 'saya sudah membesarkan kamu, sudah menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, begini balasannya?' Pamrih? Jelas.
Bagaimana bisa orang tua membesarkan anak dengan pamrih. Kalau memang begitu aturannya, saya lebih baik memilih tidak mau punya anak. Di otak saya, orang tua yang memiliki anak itu artinya mereka terpilih diberi kepercayaan Tuhan untuk membesarkan anak, tanpa pamrih tentunya. Ingat tidak, banyak yang bilang, anak itu titipan. 

Masa iya seorang anak harus bertanya sejak kecil, apakah sekolah dan semua biaya hidup ini harus kukembalikan ke ayah ibuku ketika aku sudah dewasa nanti? Dengan cara yang ayah dan ibu pilih?

Saya ingat pernah membahas permasalahan ini dengan pasangan saya saat ini. Responnya, "Hal seperti itu harusnya tidak diminta langsung oleh orang tua. Bahkan juga dengan tidak membahas apa yang sudah dikeluarkan sejak lahir. Tapi harusnya diajarkan dengan baik dan sopan." That's his opinion.

Kalau menurut saya, perkara membalas budi harusnya tidak perlu diminta, apalagi dibahas apa-apanya yang sudah dikeluarkan. Saya yakin seorang anak akan juga membahagiakan orang tuanya dengan cara-cara yang tidak perlu diminta. Seperti kata pasangan saya tadi, ini permasalahan bagaimana mengajarkannya.

So dear soon-to-be-parents, harusnya kalian sudah bersyukur karena sudah dipercaya untuk dititipkan membesarkan manusia lain. Bukan permasalahan apa saja yang sudah kalian keluarkan dan anak itu harus membayarnya dengan cara yang kalian inginkan, tapi bagaimana kalian mengajarkan anak kalian menjadi anak yang sopan. Perlu diingat, orang tua tidak selalu benar. Orang tua juga manusia yang bisa saja salah. Jadi adalah wajar ketika ada perselisihan dengan anak yang berbeda pandangan. Bukan permasalahan bagaimana pendapat orang tua harus tetap dijalankan dan si anak menurutinya, tapi bagaimana menjadikan anak itu jadi anak yang sopan bahkan ketika dia tidak menyetujui pendapat kita. Bagaimana dia dengan sopan menyampaikan pendapatnya mengapa bisa berbeda. Satu hal yang penting, kesopanan.

Jangan jadikan anak sebagai pengemban utang atas apa yang sudah orang tua keluarkan.

Friday, April 27, 2012

1604 #010

It really is Saturday. Oh my dear God. Can we skip to Monday?
Hari ini jelas bukan hari yang kutunggu. Bahkan kalau boleh aku rela dibius sehari untuk tidak melalui hari ini. 
Hari ini terjadwalkan sebuah acara kumpul keluarga yang cukup besar-besaran. Bagaimana tidak, semua saudara yang bahkan aku tidak tahu keberadaannya datang dari seluruh penjuru Indonesia. Bali, Kalimantan, bahkan Papua. Semua rela menyambangi Jakarta untuk hari ini. Well, event tahunan memang.

Kemarin Ibu sempat bilang kalau Ayah dan kakak perempuanku tidak bisa datang ke acara ini.  Keponakan laki-laki anak kakakku itu sedang sakit rupanya dan Ayah tidak mau meninggalkan cucu kebanggaannya. Ah kebanggaan. Sudah lupa rasanya bagaimana dulu aku menjadi anak kebanggaan ayahku. Sejak aku memutuskan untuk pindah dari Yogya, punahlah semua. Aku bukan lagi anak kebanggaan ayahku. Mungkin baginya aku hanya anak perempuannya yang paling tidak patuh padanya. Biarlah. Mau jadi apa aku kalau hanya di Yogya?

Berhubung ini acara keluarga besar ibu, jadi semacam diwajarkan kalau ayah kakak perempuanku tidak datang. Yang penting ibu datang. Dan kini aku semacam tumbal yang tidak suka makan ikan jambal tapi terlalu bebal. Harus ya aku datang ke tempat ini?

Aku masih asik tenggelam di lamunanku sampai bunyi beep keluar dari handphoneku. Hi, baby. Ayo cepetan siap-siap samperin si Ibu Suri. Ini harus dilewatin. Mau sampe kapan kamu ngelak mulu? Inget ini resiko dari pilihanmu untuk tidak menikah dulu. Ah Kinar. Dia  memang paling-paling. Yes dear, I'll get myself ready.
----------------
"Ibu dimana? Aku sudah di lobi."
"Oh Ibu sudah di dalam mba, kamu masuk saja ya. Ibu agak sibuk di sini."
Eh? Bagus dong kalau Ibu sibuk. *evilsmirk*
"Iya aku langsung masuk saja ya."
Klik.
----------------
Begitu melihat ratusan orang hilir mudik ke sana kemari bercengkramah sana sini, rasa sosialisasiku sejekap hilang. Rasanya tidak mau aku berbicara dengan siapa-siapa di ruangan ini. Cari Ibu, dulu baru bisa bebas. Beberapa mata kutangkap sedang melirik berbicara. Membicarakanku mungkin. Ibu..Ibu..Ibu..Ah itu dia!
"Bu! Ibu!"
"Eh mba! Haduh ini Ibu ribetnya yo. Kamu udah makan mba? Makan dulu, nanti kamu pusing. Sebentar lagi acara intinya mau dimulai, Ibu harus mantau lagi. Ga tenang rasanya ninggalin ke anak-anak itu."
Well that's my mother. She want to do everything by her own.
"Yasudah Ibu lanjutin lagi aja ngurus-ngurusnya. Aku paling ada di sekitar sini-sini aja ko. Nanti aku samperin bude aja paling."
"Itu tuh tuh di sana. Budemu sedang di sana. Samperin ya mba. Itu juga yang lain diajak ngobrol. Ga boleh jutek ya mba."
Ibu memang paling tahu kalau aku tipe orang yang suka kurang ramah ke orang yang memang tidak kusuka. 
"Iya bu. Aku kesana ya."
---------------
Setelah berbincang panjang lebar dengan budeku, tiba-tiba ada yang memanggilku dari kejauhan. "Prada!" Ketika aku menoleh, DISYA! Astaga entah kapan terakhir aku melihat sepupu jauhku ini. Sejak dia memutuskan untuk kuliah dan bekerja di Jerman, komunikasi kami semakin jarang. Dia saudara yang kuanggap paling dekat. Seperti sahabat.

"AAAAAAAAAAHH PRADAAA!"
"DISSYAAAA!"
Kami saling berteriak tidak peduli dengan keadaan sekitar.


"Astagaaaa apa kabar kamu?? Duh kita udah super jarang komunikasi deh."
"Jarang banget malah. Semenjak kuliah kita terlalu sibuk dengan dunia baru kita sepertinya ya?"
"Bener banget. Eh ngobrol di luar yuk? Di sini berisik. Ibumu dimana? Nanti sajalah ya aku datengin dia."
"Hahahahaa, yaudah yuk ke lobi aja, ada sofa kan disana."
---------------
Maka duduklah kami di sofa lobi. Sejenak melenggang dari acara yang bahkan aku tidak terlalu peduli tentang apa.
"Jadi, gimana kabarmu disana? Masih di Jerman kan?"
"Baik banget. Kamu baik banget nih kayanya. Aku di Berlin-nya sekarang. Kerja jadi lighting planner di sana. Kamu sekarang kerja apa?"
"Aku kerja di majalah di. Ya, itungannya hobi yang mendatangkan uang, hehehee. I really love my job."
Disya tersenyum.
"You do love your job, how about loving someone? Who's now?"
"I don't date anyone. Still single. Don't plan any marriage until now."
"Terakhir kan kamu ceritanya tentang Kio. How about him? He seemed that good for you. And last time I knew, you loved him so much."
"Astaga Kio. Well it's a long story. We ended our relationship. Hmm I think the situation ended it. Hahahhaa. You know, Ibu ga suka banget sama Kio karna ya kami beda latar belakang. Darah Manado-nya jelas tidak diterima Ibu."
"Same problem since it first happened right?"
"Padahal kalian kan seagama ya. Masih aja kurang."
"Agama yang sama pun tetap kurang di mata ibu di."
"Hmm.. you'll find a way someday. Different way maybe."
"Anything good lah. Good is enough. Udah ah jangan ngomongin Kio lagi, kamu gimana? Pasti udah mau nikah deh! Hahahaa..."
"Me? Hhahahahaha.. Yes, I'm gonna marry a man this year."
----------------
Pembicaraan pun beralih ke bagian Disya. Kehidupannya, karirnya, persiapan pernikahannya. Aku mendengarkannya dengan penuh antusias, tapi sempat terpikir satu hal: Kio.
Bagaimana kabar Kio?

Perkara Tersemat Cincin

A marriage. Who doesn't want one? 
Well, if you ask to those modern career women nowadays, don't be surprised when you get the 'no' answer.


Hal yang berkaitan tentang pernikahan di pikiran saya semakin hari semakin berubah maknanya. Dari awalnya yang sangat super menginginkan, sampai sempat ketakutan, dan akhirnya memutuskan untuk meng-entar-kan.


When I was in high school and early college, I dreamed about getting married in 2012. Saya mendambakan pernikahan di usia super muda, alasannya tidak jauh-jauh dari keinginan memiliki anak yang tidak beda jauh umurnya dengan saya. Bahkan pada awal 2008 saya ingat pernah mengatakan, "seru kali ya nikah di 2012".
And today I live in 2012 world, what am I doing? I'm writing about marriage in my blog. Well, 2012 is not over yet, I know. Tapi perkara pernikahan muda ini tampaknya sudah melenggang jauh dari imaginasi saya. 


Harus saya akui pergaulan di dunia kerja membukakan mata saya pada perkara pernikahan sesungguhnya. Bagaimana tidak, kondisi cerai, selingkuh, nikah sirih, poligami, dan segala permasalahan yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan dewasa dihadirkan jelas di mata saja. Kondisi yang sejak kecil ini hanya saya lihat di layar kaca, kini ada di sekitar saya. Takut? Pasti.
Belum lagi situasi perempuan modern dengan karir menjulang yang sudah teramat nyaman dengan status lajangnya. Mungkin link di Jakarta Post ini bisa membantu memaparkannya: ‘All the single ladies’: Redefining perspectives on marriage. Setelah membacanya, saya kembali teringat dengan kondisi beberapa orang yang saya tahu memutuskan untuk menyamankan diri dengan karirnya. Bagaimana tidak, mereka sudah punya semuanya: uang melimpah dengan segala hartanya, bahkan laki-laki untuk sekedar 'memuaskan diri' pun mudah didapatkannya. Wajar bagi mereka kalau mereka tidak membutuhkan sebuah pembatasan yang bernama pernikahan.


Rata-rata orang yang saya tahu itu berusia 30 tahun ke atas. Saya yakin beberapa mungkin pernah bermimpi menikah sebelum mencapai usia yang mereka sedang jalani. Tapi tampaknya keinginan untuk menikah tidak (atau bisa jadi belum) lagi terselip dan (mungkin) membebani. 


Saya ingat pernah bilang ke pasangan saya kalau saya takut menjadi seperti mereka. Saya takut terlalu nyaman dengan pekerjaan saya dan jadi tidak seingin itu lagi untuk menikah. Satu hal yang saya yakin, problematika pikirian semacam ini bisa saja menghantui setiap perempuan.


Urusan mau menikah atau tidak menurut saya itu sudahlah biarkan pribadi masing-masing yang menentukan. Tapi ingat, Indonesia kaya akan cibiran sekitar bukan? Pasang tamengmu, dan lenggangkan kakimu.