Friday, April 27, 2012

Perkara Tersemat Cincin

A marriage. Who doesn't want one? 
Well, if you ask to those modern career women nowadays, don't be surprised when you get the 'no' answer.


Hal yang berkaitan tentang pernikahan di pikiran saya semakin hari semakin berubah maknanya. Dari awalnya yang sangat super menginginkan, sampai sempat ketakutan, dan akhirnya memutuskan untuk meng-entar-kan.


When I was in high school and early college, I dreamed about getting married in 2012. Saya mendambakan pernikahan di usia super muda, alasannya tidak jauh-jauh dari keinginan memiliki anak yang tidak beda jauh umurnya dengan saya. Bahkan pada awal 2008 saya ingat pernah mengatakan, "seru kali ya nikah di 2012".
And today I live in 2012 world, what am I doing? I'm writing about marriage in my blog. Well, 2012 is not over yet, I know. Tapi perkara pernikahan muda ini tampaknya sudah melenggang jauh dari imaginasi saya. 


Harus saya akui pergaulan di dunia kerja membukakan mata saya pada perkara pernikahan sesungguhnya. Bagaimana tidak, kondisi cerai, selingkuh, nikah sirih, poligami, dan segala permasalahan yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan dewasa dihadirkan jelas di mata saja. Kondisi yang sejak kecil ini hanya saya lihat di layar kaca, kini ada di sekitar saya. Takut? Pasti.
Belum lagi situasi perempuan modern dengan karir menjulang yang sudah teramat nyaman dengan status lajangnya. Mungkin link di Jakarta Post ini bisa membantu memaparkannya: ‘All the single ladies’: Redefining perspectives on marriage. Setelah membacanya, saya kembali teringat dengan kondisi beberapa orang yang saya tahu memutuskan untuk menyamankan diri dengan karirnya. Bagaimana tidak, mereka sudah punya semuanya: uang melimpah dengan segala hartanya, bahkan laki-laki untuk sekedar 'memuaskan diri' pun mudah didapatkannya. Wajar bagi mereka kalau mereka tidak membutuhkan sebuah pembatasan yang bernama pernikahan.


Rata-rata orang yang saya tahu itu berusia 30 tahun ke atas. Saya yakin beberapa mungkin pernah bermimpi menikah sebelum mencapai usia yang mereka sedang jalani. Tapi tampaknya keinginan untuk menikah tidak (atau bisa jadi belum) lagi terselip dan (mungkin) membebani. 


Saya ingat pernah bilang ke pasangan saya kalau saya takut menjadi seperti mereka. Saya takut terlalu nyaman dengan pekerjaan saya dan jadi tidak seingin itu lagi untuk menikah. Satu hal yang saya yakin, problematika pikirian semacam ini bisa saja menghantui setiap perempuan.


Urusan mau menikah atau tidak menurut saya itu sudahlah biarkan pribadi masing-masing yang menentukan. Tapi ingat, Indonesia kaya akan cibiran sekitar bukan? Pasang tamengmu, dan lenggangkan kakimu.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.