Monday, August 26, 2013

1604 #011

Mataku masih menyipit, sulit untuk dibuka meski hanya sedikit. Pancaran sinar matahari di sini terlalu membuat mataku sakit. I should get used to it.

Kulirik tulisan di luar jendela, Soekarno-Hatta Airport. Ah, sudah benar-benar sampai rupanya. Ya, aku akhirnya kembali ke Indonesia. Negeri tempatku berkembang dengan segala permasalahan yang tak jarang membuatku gamang.

Tak terasa, rasanya baru kemarin aku masih bergumul resah dengan ingatan satu nama yang sempat membuatku pasrah. Perlu kusebutkan namanya? Rasanya tidak usah. Oh atau mungkin nanti saja. Ini pertama kalinya dalam satu tahun terakhir aku meninggalkan Bandung, meninggalkan Indonesia. Meninggalkan Ibu, Ayah, dan segala problematika yang tak pernah selesai rasanya. Meninggalkan pekerjaan yang rasanya kucinta seluruh jiwa raga. Meninggalkan Kinar, sahabat pelipur lara.

Oh, iya. Kabari Kinar. Kuketik segera. Baby, I'm landed! Where are you?! Airport already? Will call you soon once I change the sim card. Tak sabar rasanya melihat Kinar langsung di depan mata. Satu tahun terakhir ini hanya bisa melihat wajah bulatnya di layar handphone atau laptop semata.

Bergegas kulalui belalai gajah penghubung bandara dan pesawat yang kunaki beberapa jam terakhir. Jetlag, pegal, kliyengan. Tak mau benar-benar kurasa karena aku tak sabar bertemu Kinar. Kuambil dan kudorong troley dengan 5 koper 24 inchi di atas. Yes, five. Pardon me, I'm a lady.

Saat masih sibuk mengganti sim card sambil mendorong troley ke arah pintu keluar, tiba-tiba ada satu suara lantang terdengar. PRAPE!! Ah. There she is. KINARRR! Kudorong troleyku lebih cepat untuk segera memeluk Kinar dengan erat.

"I MISS YOU!"
"I MISS YOU TOOOOO!"
"I MISS YOU THREE!"
"I MISS YOU FOUR FIVE SIX SEVEN AND EIGHT AND YOU CAN'T BEAT ME!"
"Oh, fine. You win. The same old Prada Prameshwari. Hahahhaa."
Kami pun tertawa sambil menuju ke arah parkir mobil.

"So, how's Columbia?
"Nah, just so-so. I prefer here in Indonesia. Kalau nggak demi menyalurkan nafsuku untuk lebih berlajar soal media dan tetek bengeknya, aku lebih rela menghabiskan waktu di Bandung. Dengerin semua celotehmu."
"Kebalik. Aku yang dengerin celotehmu."
"Hahaa, you know me, Baby! Eh ngopi dulu yuk. Lagi pengen yang dingin-dingin nih aku."
"Boleh, ke Starbucks aja ya, biar nggak ribet cari parkir."
"Atur."

Yes, Columbia. Aku menghabiskan satu tahun di University of Columbia untuk mendalami dunia Jurnalisme yang sudah terlebih dahulu kepelajari. Untuk apa? Ya hanya untuk belajar saja. Haus rasanya karena masih banyak hal yang ingin kuketahui soal dunia ini. And here I am, a Master of Art in Journalism.

---

Sesampainya kami di kedai kopi ini, kami pun memilih tempat duduk sofa agar kami lebih nyaman bercerita. Memang tak akan semuanya dibagi di kedai kopi kecil ini, tapi setidaknya ada yang kami ceritakan di sini.
"Kamu sudah kasih tahu Ibu Suri kamu sudah sampai di sini?"
"Not yet. Nantilah, aku mau istirahat dulu, pusing aku kalau nanti telpon beliau, Ibu pasti langsung nanya ini itu. Nantilah."
"Nggak boleh begitu, dia kan Ibumu yang hanya cemas soal keadaanmu."
"I know."

Satu gelas plastik pesananku akhirnya tiba. Green Tea Frappucinno Blended Cream. Yummy. Langsung kusedot minuman hijau yang selalu kusebut dengan minuman surga. Aku berharap di Surga banyak tersedia minuman ini nantinya.

"Eh, aku masih penasaran deh. Masa sih di sana nggak ada bule satupun yang nyantol sama kamu?"
"Nope. Aku di sana bener-bener difokusin buat belajar supaya bisa cepet-cepet balik ke sini. Nggak betah aku di sana. Mau semacet dan serumit apapun kehidupan Bandung dan sekitarnya, aku masih lebih cinta di sini."
"Ya barangkali kan kalau ada yang nyantol, bisa jadi Ibu Suri justru merestui yang ini. Sepupu-sepupumu yang direstui kemarin-marin karena nikah dengan orang bule kan?"
"Iya juga sih. Sempet kepikiran begitu aku. Tapi ya itu, nggak dilanjutin mikirinnya karena nggak betahan di sana. Untung cuma setahun. Lebih lama dari itu aku bisa gila."
"Hush, sembarangan. Eh tapi, masa nggak ada yang one night stand sekalipun?"
"Ennggggaaaaa Kinaaaaar! Cium nih. Boro-boro mikirin one night stand, ke party temen-temenku yang disana aja aku nggak pernah. Kamu tahu kan aku nggak suka party."
"Ya sih. Yah, kurang seru dong. Kupikir ada yang disembuyiin, habis kan kita ceritanya cuma lewat skype sama whatsapp. Jadi kutebak pasti paling nggak ada yang disembunyiin."
"Tak ada."
"Yoh, baiklah. Habis ini mau langsung kemana? Apartemen atau kemana dulu? Jadi ke rumah mba Nina?"
"Oh, iya. Jadi, jadi. Aku mau antar pesenannya ini. Takut kelupaan kan. Kamu nggak papa nyetir sampe Bandung nanti?"
"Ga papalah. Demi sahabat yang baru pulang dari merantau. Hahaa."
"Hahahhaaa. Kutukar sama oleh-oleh buat kamu yaa!"

Kami pun melanjutkan tawa sampai kurang lebih satu jam rasanya. Setelah itu saatnya pergi ke beberapa tempat sebelum akhirnya menyambangi apartemen tercinta yang sudah ditinggalkan satu tahun lamanya. Semoga teh Ima udah bener-bener ngerapihin semuanya.

Will meet you soon, Apartemen Seguni.

Tuesday, July 17, 2012

Sensasi Spa dengan Chakra Healing!


Kalau berbicara tentang spa, Bali rasanya sudah menjadi tempat terbaik untuk bereskapisme ria merelaksasikan diri. Nah kalau sudah di Bali, jangan sekedar pergi ke tempat spa biasa, coba pilih tempat spa yang menyajikan sensasi spa yang lebih dari biasanya. Rekomendasi saya, coba langkahkan kaki menuju Four Seasons Resort Bali at Sayan. Sensasi relaksasi dengan chakra healing yang super menyenangkan!

Ketika melangkahkan kaki ke resort ini, saya langsung merasakan kesejukan alam sekitar yang masih dipenuhi dengan pepohonan rindang dengan sungai jernih yang mengalir cukup deras dan disempurnakan dengan udara yang terasa sejuk menyelimuti tubuh. Siapa sangka perjalanan relaksasi saya sudah dimulai dari sini. Suasana pedesaan yang lengkap pemandangan alam. Kali ini saya akan disuguhkan dengan sensasi relaksasi dari salah satu spa treatment andalan resort ini, yakni Anahata (The Heart Chakra).
Banyak hal unik yang saya dapatkan dari Anahata spa treatment ini. Sensasi aroma mawar langsung tercium lembut ke hidung saya ketika tubuh saya dieksfoliasi dengan rose damascena dan rose scrub yang terasa lembut di kulit. Belum lagi kolaborasi mawar dan beragam bunga lainnya yang diletakkan langsung di dalam bak mandi saya. Tubuh langsung terasa lebih rileks dari biasanya.
Belum selesai sampai di situ. Setelah berendam, saya langsung disuguhkan dengan sensasi massage yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. A heart-shape basti (a special dough) was placed on my chest. Kemudian rose oil dan beberapa tetes calendula oil langsung diteteskan ke dalam basti ini. I felt the warmth, and it was relaxing. Terakhir, tubuh saya dimassage dengan menggunakan rose quatz crystal yang hangat. It’s like hot stones but in different version. Satu hal yang unik, tiba-tiba saja sang terapis mengenggam tangan saya dengan satu batu kristal di dalamnya. And she sang a peaceful song for me, Jai Ma.Seketika saya terdiam merinding, tapi lama-kelamaan tubuh terasa lebih rileks. Semua pikiran negatif terbuyarkan dan saya merasa lebih tenang.
Anahata spa treatment ini berlangsung selama 2,5 jam dan lebih memfokuskan pijatan untuk menyeimbangkan chakra dalam tubuh yang penting untuk jantung, thymus, dan sistem sirkulasi tubuh. They said, this chakra is very important to the Balinese because an open heart helps clear negativity and allows love and compassion to be given and received. Great philosophy, right? I really want to go there again! Somebody?

Saturday, April 28, 2012

Perkara Punya Anak

Mereka bilang, perempuan sudah jadi seutuhnya sempurna ketika mereka sudah melahirkan anak, apalagi melahirkannya secara normal. Beragam pujian menyambangi pribadi perempuan itu. Believe me, I don't trust those silly things. Pernyataan yang menurut saya hanya mendiskreditkan seorang manusia yang diberi label perempuan. Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa punya anak? Tidak sempurna begitu maksudnya? Memangnya penyakit yang dideritanya itu mau mereka? Bukankah manusia sudah diciptakan sempurna menurut gambar Allah? Begitu bukan katanya?

So stop saying that 'sempurna' thing on human being. Kita semua sempurna. Saya bahkan tidak setuju dengan kalimat 'saya bersykur karena saya lebih beruntung dari pada mereka.' Oh like pretty please, semua orang beruntung dalam halnya masing-masing. Selalu ada 'saya punya tapi kamu tidak'. Ingat, dalam berbagai hal tentu saja. Tidak ada yang lebih karena Tuhan menciptakan semua manusia setara. Jadi jangan juga mengatakan bahwa perempuan yang bisa melahirkan anak dari rahimnya sendiri itu lebih beruntung dari mereka yang tidak bisa punya anak. Tuhan itu adil, tidak ada siapa yang lebih beruntung daripada siapa.

Kembali ke perkara punya anak. Berapa di antara orang tua di dunia ini yang meminta anaknya semacam 'membalas budi' atas usaha dan biaya yang orang tua keluarkan ketika membesarkan anak tersebut? Mungkin banyak yang terselubung, tapi banyak yang membahas dan meminta. Kalimat ampuhnya 'saya sudah membesarkan kamu, sudah menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, begini balasannya?' Pamrih? Jelas.
Bagaimana bisa orang tua membesarkan anak dengan pamrih. Kalau memang begitu aturannya, saya lebih baik memilih tidak mau punya anak. Di otak saya, orang tua yang memiliki anak itu artinya mereka terpilih diberi kepercayaan Tuhan untuk membesarkan anak, tanpa pamrih tentunya. Ingat tidak, banyak yang bilang, anak itu titipan. 

Masa iya seorang anak harus bertanya sejak kecil, apakah sekolah dan semua biaya hidup ini harus kukembalikan ke ayah ibuku ketika aku sudah dewasa nanti? Dengan cara yang ayah dan ibu pilih?

Saya ingat pernah membahas permasalahan ini dengan pasangan saya saat ini. Responnya, "Hal seperti itu harusnya tidak diminta langsung oleh orang tua. Bahkan juga dengan tidak membahas apa yang sudah dikeluarkan sejak lahir. Tapi harusnya diajarkan dengan baik dan sopan." That's his opinion.

Kalau menurut saya, perkara membalas budi harusnya tidak perlu diminta, apalagi dibahas apa-apanya yang sudah dikeluarkan. Saya yakin seorang anak akan juga membahagiakan orang tuanya dengan cara-cara yang tidak perlu diminta. Seperti kata pasangan saya tadi, ini permasalahan bagaimana mengajarkannya.

So dear soon-to-be-parents, harusnya kalian sudah bersyukur karena sudah dipercaya untuk dititipkan membesarkan manusia lain. Bukan permasalahan apa saja yang sudah kalian keluarkan dan anak itu harus membayarnya dengan cara yang kalian inginkan, tapi bagaimana kalian mengajarkan anak kalian menjadi anak yang sopan. Perlu diingat, orang tua tidak selalu benar. Orang tua juga manusia yang bisa saja salah. Jadi adalah wajar ketika ada perselisihan dengan anak yang berbeda pandangan. Bukan permasalahan bagaimana pendapat orang tua harus tetap dijalankan dan si anak menurutinya, tapi bagaimana menjadikan anak itu jadi anak yang sopan bahkan ketika dia tidak menyetujui pendapat kita. Bagaimana dia dengan sopan menyampaikan pendapatnya mengapa bisa berbeda. Satu hal yang penting, kesopanan.

Jangan jadikan anak sebagai pengemban utang atas apa yang sudah orang tua keluarkan.

Friday, April 27, 2012

1604 #010

It really is Saturday. Oh my dear God. Can we skip to Monday?
Hari ini jelas bukan hari yang kutunggu. Bahkan kalau boleh aku rela dibius sehari untuk tidak melalui hari ini. 
Hari ini terjadwalkan sebuah acara kumpul keluarga yang cukup besar-besaran. Bagaimana tidak, semua saudara yang bahkan aku tidak tahu keberadaannya datang dari seluruh penjuru Indonesia. Bali, Kalimantan, bahkan Papua. Semua rela menyambangi Jakarta untuk hari ini. Well, event tahunan memang.

Kemarin Ibu sempat bilang kalau Ayah dan kakak perempuanku tidak bisa datang ke acara ini.  Keponakan laki-laki anak kakakku itu sedang sakit rupanya dan Ayah tidak mau meninggalkan cucu kebanggaannya. Ah kebanggaan. Sudah lupa rasanya bagaimana dulu aku menjadi anak kebanggaan ayahku. Sejak aku memutuskan untuk pindah dari Yogya, punahlah semua. Aku bukan lagi anak kebanggaan ayahku. Mungkin baginya aku hanya anak perempuannya yang paling tidak patuh padanya. Biarlah. Mau jadi apa aku kalau hanya di Yogya?

Berhubung ini acara keluarga besar ibu, jadi semacam diwajarkan kalau ayah kakak perempuanku tidak datang. Yang penting ibu datang. Dan kini aku semacam tumbal yang tidak suka makan ikan jambal tapi terlalu bebal. Harus ya aku datang ke tempat ini?

Aku masih asik tenggelam di lamunanku sampai bunyi beep keluar dari handphoneku. Hi, baby. Ayo cepetan siap-siap samperin si Ibu Suri. Ini harus dilewatin. Mau sampe kapan kamu ngelak mulu? Inget ini resiko dari pilihanmu untuk tidak menikah dulu. Ah Kinar. Dia  memang paling-paling. Yes dear, I'll get myself ready.
----------------
"Ibu dimana? Aku sudah di lobi."
"Oh Ibu sudah di dalam mba, kamu masuk saja ya. Ibu agak sibuk di sini."
Eh? Bagus dong kalau Ibu sibuk. *evilsmirk*
"Iya aku langsung masuk saja ya."
Klik.
----------------
Begitu melihat ratusan orang hilir mudik ke sana kemari bercengkramah sana sini, rasa sosialisasiku sejekap hilang. Rasanya tidak mau aku berbicara dengan siapa-siapa di ruangan ini. Cari Ibu, dulu baru bisa bebas. Beberapa mata kutangkap sedang melirik berbicara. Membicarakanku mungkin. Ibu..Ibu..Ibu..Ah itu dia!
"Bu! Ibu!"
"Eh mba! Haduh ini Ibu ribetnya yo. Kamu udah makan mba? Makan dulu, nanti kamu pusing. Sebentar lagi acara intinya mau dimulai, Ibu harus mantau lagi. Ga tenang rasanya ninggalin ke anak-anak itu."
Well that's my mother. She want to do everything by her own.
"Yasudah Ibu lanjutin lagi aja ngurus-ngurusnya. Aku paling ada di sekitar sini-sini aja ko. Nanti aku samperin bude aja paling."
"Itu tuh tuh di sana. Budemu sedang di sana. Samperin ya mba. Itu juga yang lain diajak ngobrol. Ga boleh jutek ya mba."
Ibu memang paling tahu kalau aku tipe orang yang suka kurang ramah ke orang yang memang tidak kusuka. 
"Iya bu. Aku kesana ya."
---------------
Setelah berbincang panjang lebar dengan budeku, tiba-tiba ada yang memanggilku dari kejauhan. "Prada!" Ketika aku menoleh, DISYA! Astaga entah kapan terakhir aku melihat sepupu jauhku ini. Sejak dia memutuskan untuk kuliah dan bekerja di Jerman, komunikasi kami semakin jarang. Dia saudara yang kuanggap paling dekat. Seperti sahabat.

"AAAAAAAAAAHH PRADAAA!"
"DISSYAAAA!"
Kami saling berteriak tidak peduli dengan keadaan sekitar.


"Astagaaaa apa kabar kamu?? Duh kita udah super jarang komunikasi deh."
"Jarang banget malah. Semenjak kuliah kita terlalu sibuk dengan dunia baru kita sepertinya ya?"
"Bener banget. Eh ngobrol di luar yuk? Di sini berisik. Ibumu dimana? Nanti sajalah ya aku datengin dia."
"Hahahahaa, yaudah yuk ke lobi aja, ada sofa kan disana."
---------------
Maka duduklah kami di sofa lobi. Sejenak melenggang dari acara yang bahkan aku tidak terlalu peduli tentang apa.
"Jadi, gimana kabarmu disana? Masih di Jerman kan?"
"Baik banget. Kamu baik banget nih kayanya. Aku di Berlin-nya sekarang. Kerja jadi lighting planner di sana. Kamu sekarang kerja apa?"
"Aku kerja di majalah di. Ya, itungannya hobi yang mendatangkan uang, hehehee. I really love my job."
Disya tersenyum.
"You do love your job, how about loving someone? Who's now?"
"I don't date anyone. Still single. Don't plan any marriage until now."
"Terakhir kan kamu ceritanya tentang Kio. How about him? He seemed that good for you. And last time I knew, you loved him so much."
"Astaga Kio. Well it's a long story. We ended our relationship. Hmm I think the situation ended it. Hahahhaa. You know, Ibu ga suka banget sama Kio karna ya kami beda latar belakang. Darah Manado-nya jelas tidak diterima Ibu."
"Same problem since it first happened right?"
"Padahal kalian kan seagama ya. Masih aja kurang."
"Agama yang sama pun tetap kurang di mata ibu di."
"Hmm.. you'll find a way someday. Different way maybe."
"Anything good lah. Good is enough. Udah ah jangan ngomongin Kio lagi, kamu gimana? Pasti udah mau nikah deh! Hahahaa..."
"Me? Hhahahahaha.. Yes, I'm gonna marry a man this year."
----------------
Pembicaraan pun beralih ke bagian Disya. Kehidupannya, karirnya, persiapan pernikahannya. Aku mendengarkannya dengan penuh antusias, tapi sempat terpikir satu hal: Kio.
Bagaimana kabar Kio?

Perkara Tersemat Cincin

A marriage. Who doesn't want one? 
Well, if you ask to those modern career women nowadays, don't be surprised when you get the 'no' answer.


Hal yang berkaitan tentang pernikahan di pikiran saya semakin hari semakin berubah maknanya. Dari awalnya yang sangat super menginginkan, sampai sempat ketakutan, dan akhirnya memutuskan untuk meng-entar-kan.


When I was in high school and early college, I dreamed about getting married in 2012. Saya mendambakan pernikahan di usia super muda, alasannya tidak jauh-jauh dari keinginan memiliki anak yang tidak beda jauh umurnya dengan saya. Bahkan pada awal 2008 saya ingat pernah mengatakan, "seru kali ya nikah di 2012".
And today I live in 2012 world, what am I doing? I'm writing about marriage in my blog. Well, 2012 is not over yet, I know. Tapi perkara pernikahan muda ini tampaknya sudah melenggang jauh dari imaginasi saya. 


Harus saya akui pergaulan di dunia kerja membukakan mata saya pada perkara pernikahan sesungguhnya. Bagaimana tidak, kondisi cerai, selingkuh, nikah sirih, poligami, dan segala permasalahan yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan dewasa dihadirkan jelas di mata saja. Kondisi yang sejak kecil ini hanya saya lihat di layar kaca, kini ada di sekitar saya. Takut? Pasti.
Belum lagi situasi perempuan modern dengan karir menjulang yang sudah teramat nyaman dengan status lajangnya. Mungkin link di Jakarta Post ini bisa membantu memaparkannya: ‘All the single ladies’: Redefining perspectives on marriage. Setelah membacanya, saya kembali teringat dengan kondisi beberapa orang yang saya tahu memutuskan untuk menyamankan diri dengan karirnya. Bagaimana tidak, mereka sudah punya semuanya: uang melimpah dengan segala hartanya, bahkan laki-laki untuk sekedar 'memuaskan diri' pun mudah didapatkannya. Wajar bagi mereka kalau mereka tidak membutuhkan sebuah pembatasan yang bernama pernikahan.


Rata-rata orang yang saya tahu itu berusia 30 tahun ke atas. Saya yakin beberapa mungkin pernah bermimpi menikah sebelum mencapai usia yang mereka sedang jalani. Tapi tampaknya keinginan untuk menikah tidak (atau bisa jadi belum) lagi terselip dan (mungkin) membebani. 


Saya ingat pernah bilang ke pasangan saya kalau saya takut menjadi seperti mereka. Saya takut terlalu nyaman dengan pekerjaan saya dan jadi tidak seingin itu lagi untuk menikah. Satu hal yang saya yakin, problematika pikirian semacam ini bisa saja menghantui setiap perempuan.


Urusan mau menikah atau tidak menurut saya itu sudahlah biarkan pribadi masing-masing yang menentukan. Tapi ingat, Indonesia kaya akan cibiran sekitar bukan? Pasang tamengmu, dan lenggangkan kakimu.

Tuesday, March 27, 2012

The Hunger Games, I Just Love The Makeup!

Kira-kira seminggu lalu sempat terjadi keriuhan di lini masa twitter saya. Beberapa histeris dengan film "The Raid" dengan karisma Iko Uwais yang cukup membuat banyak wanita meleleh melihatnya, termasuk saya, hehe. Tapi ternyata ada kelompok lain yang riuh membicarakan satu nama film yang baru saya dengar saat itu, "The Hunger Games". Beragam pujian berdatangan untuk film dengan genre action-thriller ini.

Akhirnya saya memiliki kesempatan untuk iseng menonton film "The Hunger Games" ini. Sebagus apa sih? Kira-kira dua jam berlalu dan saya pun melangkahkan kaki keluar dari ruangan bioskop itu. Pendapat saya? Sorry to say, but it's not that wow. Film ini semacam meniru film "Battle Royale" produksi Jepang pada tahun 2000 lalu. Sama-sama menceritakan sejumlah orang yang dikumpulkan dalam satu area dan intinya harus saling membunuh sampai hanya tinggal satu pemenang. Bedanya? "The Hunger Games" terlalu banyak drama. "Battle Royale" disajikan dengan ketegangan yang luar biasa. Cara-cara membunuhnya pun tidak biasa karena masing-masing memiliki keahliannya sendiri-sendiri. Bisa jadi yang mengagung-agungkan "The Hunger Games" belum pernah menonton "Battle Royale" sebelumnya. Bisa jadi.

Tapi ada satu bagian yang sangat saya sukai dalam film ini: the makeup! Permainan bright colors dengan beragam sentuhan couture yang futuristik dan sophisticated tersuguhkan manis dalam film ini. Fokusnya tidak hanya di mata, namun juga di bibir yang bukan sekedar merah atau pink. Lebih dari itu. Perhatikan dengan seksama, Anda akan melihat sentuhan bleaching pada alis-alis para pemain, terutama orang-orang Capitol seperti Effie Trinket. Bukan hanya perempuan, tapi juga pria-pria di film ini juga terhiaskan dengan beragam warna-warna cerah. Lihat saja Cinna (Lenny Kravitz) dengan hiasan eyeliner emas di matanya. Belum lagi sentuhan Peacock Eyelash pada Katniss Everdeen ketika diwawancara sebagai pemenang. Stunning! So spring/summer makeup!



Pecinta "Battle Royale" mungkin saja akan kecewa seperti saya dengan konsep cerita yang disuguhkan, but you're gonna love the makeup!

Monday, March 26, 2012

1604 #009

Kulirik jam di tangan kananku sudah hampir pukul 11. Kanan? Ya, mungkin aku tergolong orang-orang aneh yang memakai jam di tangan kanan. Tapi konon katanya, mereka yang suka menggunakan jam di tangan kanan adalah orang-orang yang spontan, ceria, bersemangat tinggi, tipe pemimpin, namun agak lebih emosional daripada mereka yang menggunakan jam di tangan kiri. Kalau berkaca pada diriku, ada benarnya juga. Bisa dibilang, sedikit agak bangga.

Akhirnya aku sampai di kedai kopi ini, Kopitiam Moey, kedai kopi kegemaranku dan Kinar. "Ah Kinar, maaf terlambat! There's something happened in my apartment, but I think it's gonna be okay. Aku bener-bener minta maaf," ujarku sambil sedikit memelas. "You're sure it's gonna be okay?" "Yeah, I'm pretty sure," gigiku sepertinya hampir kering. "Oke, kamu pesan gih, pesananku sepertinya sebentar lagi datang," sahut Kinar. Tak sabar rasanya aku ingin bercerita banyak ke Kinar hari ini. Let's order, then!

Aku bukan pecinta kopi, lihat saja pesananku yang selalu sama setiap kali ke kedai ini: segelas Milo Dinosaur dan sepiring Nasi Goreng Ayam. Jelas tidak ada unsur kopinya, tapi entah mengapa aku terlalu suka ke kedai ini. Sebuah tempat yang sepertinya tercipta untuk mereka yang ingin berbagi cerita. Mungkin makanan dan minuman yang dijual hanya sebagai media untuk pelepas grogi. Kalau menurutku, esensinya adalah wadah berbagi cerita.

"Jadi, ada kabar apa lagi dari ibu suri?" Kinar pun membuka sesi sharing ini.
"Well, seperti biasa. Ada barang baru lagi. Gak terlalu beda sama yang kemarin sih. Cuma kali ini aku agak sulit mengelak. Ibu sepertinya sudah mulai bisa menangkis alasan-alasanku."
"Maksudnya?"
"Iya. Beberapa hari yang lalu Ibu tiba-tiba meneleponku memperkenalkan si barang baru ini. Seperti biasa, sangat antusias dia. Dan seperti biasa juga, aku bersandar pada kesibukanku. Tapi sepertinya gagal. Ibu malah bilang mau kesini. Rindu katanya. Aku bilang lagi deadline, Ibu bilang mau sabar menunggu di rumah budeku. Skak mat."
"Woah, kayaknya barang baru ini agak lebih berbobot ya? Sampai Ibu Suri rela datang kesini. Kapan katanya mau kesini?"
"Sabtu depan katanya. Sekalian ada acara keluarga sepertinya. Arrrgghh semoga aku gak dipaksa untuk ikut. Acara keluarga itu semacam neraka bagiku. Akan banyak pertanyaan ini itu yang gak jauh-jauh dari 'sudah ada calon menantu ibumu?' Ya Tuhan."
"Sepertinya kamu memang harus cari strategi baru. Tapi, inget. Kamu gak bisa selamanya terus menghidar seperti ini. Mungkin Ibu Suri merindu punya cucu lagi."

Ah. Punya cucu? Memang hanya itu yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Paradigma yang berkembang selama ini menyatakan bahwa pernikahan itu ya esensinya memiliki keturunan sendiri. Dan aku tidak pernah setuju dengan pemikiran ini. Bagaimana tidak, sudah terlalu banyak aku mendengar kasus istri yang ditinggalkan hanya karena tidak bisa memberi keturunan. Memang ada yang menginginkan dirinya mandul? Masa seenaknya meninggalkan cuma karena harus bisa memberi keturunan asli. Mengapa tidak adopsi? Masih banyak anak-anak di sana yang haus kasih sayang orang tua. Orang tua bukan hanya orang yang ada hubungan secara biologis kan? Mereka yang tulus merawat tanpa pamrih pun masuk dalam definisi orang tua menurutku.

That's why I have my own fear about marriage. Aku tidak mau memiliki suami yang mengharuskan ada keturunan dari rahimku sendiri. Oh, bukan hanya suami, tapi juga keluarga suami. Kalau sampai ada yang mengharuskan seperti itu dan kondisiku ternyata tiba-tiba dinyatakan tidak bisa mengandung dengan rahim sendiri, lalu apa? Meninggalkanku seperti mereka? Oh, lebih baik aku tidak usah menikah kalau begitu pemikirannya.

Aku selalu mengingat apa yang pernah dikatakan temanku tentang sebuah pernikahan. Kira-kira begini bunyinya:
"Kamu mau menikah karena apa? Mau punya anak? Mau tetap sama dia sampai seterusnya? Atau cuma mau halal aja? Jawab dulu pertanyaan ini agar kamu bisa melangkah lebih pasti."

Pernikahan dengan segala problematikanya sepertinya sudah kalah jauh jika dipertarungkan dengan kecintaanku pada pekerjaan yang kujalani saat ini. But I once dream about married at young age, like 27th. Mimpi bocah ingusan 20 tahun who didn't know that working with passion is so damn addictive that you wanna marry no one, but your job. Look at me now. my dear 20th, I am 28th and still haven't married anyone yet. But thank you for dreaming.

"Kamu kan tau, aku belum mau nikah. Menikah itu terlalu.."
"Yes, I know, dear. But I know you will someday."
"Maybe..."