Tuesday, March 27, 2012

The Hunger Games, I Just Love The Makeup!

Kira-kira seminggu lalu sempat terjadi keriuhan di lini masa twitter saya. Beberapa histeris dengan film "The Raid" dengan karisma Iko Uwais yang cukup membuat banyak wanita meleleh melihatnya, termasuk saya, hehe. Tapi ternyata ada kelompok lain yang riuh membicarakan satu nama film yang baru saya dengar saat itu, "The Hunger Games". Beragam pujian berdatangan untuk film dengan genre action-thriller ini.

Akhirnya saya memiliki kesempatan untuk iseng menonton film "The Hunger Games" ini. Sebagus apa sih? Kira-kira dua jam berlalu dan saya pun melangkahkan kaki keluar dari ruangan bioskop itu. Pendapat saya? Sorry to say, but it's not that wow. Film ini semacam meniru film "Battle Royale" produksi Jepang pada tahun 2000 lalu. Sama-sama menceritakan sejumlah orang yang dikumpulkan dalam satu area dan intinya harus saling membunuh sampai hanya tinggal satu pemenang. Bedanya? "The Hunger Games" terlalu banyak drama. "Battle Royale" disajikan dengan ketegangan yang luar biasa. Cara-cara membunuhnya pun tidak biasa karena masing-masing memiliki keahliannya sendiri-sendiri. Bisa jadi yang mengagung-agungkan "The Hunger Games" belum pernah menonton "Battle Royale" sebelumnya. Bisa jadi.

Tapi ada satu bagian yang sangat saya sukai dalam film ini: the makeup! Permainan bright colors dengan beragam sentuhan couture yang futuristik dan sophisticated tersuguhkan manis dalam film ini. Fokusnya tidak hanya di mata, namun juga di bibir yang bukan sekedar merah atau pink. Lebih dari itu. Perhatikan dengan seksama, Anda akan melihat sentuhan bleaching pada alis-alis para pemain, terutama orang-orang Capitol seperti Effie Trinket. Bukan hanya perempuan, tapi juga pria-pria di film ini juga terhiaskan dengan beragam warna-warna cerah. Lihat saja Cinna (Lenny Kravitz) dengan hiasan eyeliner emas di matanya. Belum lagi sentuhan Peacock Eyelash pada Katniss Everdeen ketika diwawancara sebagai pemenang. Stunning! So spring/summer makeup!



Pecinta "Battle Royale" mungkin saja akan kecewa seperti saya dengan konsep cerita yang disuguhkan, but you're gonna love the makeup!

Monday, March 26, 2012

1604 #009

Kulirik jam di tangan kananku sudah hampir pukul 11. Kanan? Ya, mungkin aku tergolong orang-orang aneh yang memakai jam di tangan kanan. Tapi konon katanya, mereka yang suka menggunakan jam di tangan kanan adalah orang-orang yang spontan, ceria, bersemangat tinggi, tipe pemimpin, namun agak lebih emosional daripada mereka yang menggunakan jam di tangan kiri. Kalau berkaca pada diriku, ada benarnya juga. Bisa dibilang, sedikit agak bangga.

Akhirnya aku sampai di kedai kopi ini, Kopitiam Moey, kedai kopi kegemaranku dan Kinar. "Ah Kinar, maaf terlambat! There's something happened in my apartment, but I think it's gonna be okay. Aku bener-bener minta maaf," ujarku sambil sedikit memelas. "You're sure it's gonna be okay?" "Yeah, I'm pretty sure," gigiku sepertinya hampir kering. "Oke, kamu pesan gih, pesananku sepertinya sebentar lagi datang," sahut Kinar. Tak sabar rasanya aku ingin bercerita banyak ke Kinar hari ini. Let's order, then!

Aku bukan pecinta kopi, lihat saja pesananku yang selalu sama setiap kali ke kedai ini: segelas Milo Dinosaur dan sepiring Nasi Goreng Ayam. Jelas tidak ada unsur kopinya, tapi entah mengapa aku terlalu suka ke kedai ini. Sebuah tempat yang sepertinya tercipta untuk mereka yang ingin berbagi cerita. Mungkin makanan dan minuman yang dijual hanya sebagai media untuk pelepas grogi. Kalau menurutku, esensinya adalah wadah berbagi cerita.

"Jadi, ada kabar apa lagi dari ibu suri?" Kinar pun membuka sesi sharing ini.
"Well, seperti biasa. Ada barang baru lagi. Gak terlalu beda sama yang kemarin sih. Cuma kali ini aku agak sulit mengelak. Ibu sepertinya sudah mulai bisa menangkis alasan-alasanku."
"Maksudnya?"
"Iya. Beberapa hari yang lalu Ibu tiba-tiba meneleponku memperkenalkan si barang baru ini. Seperti biasa, sangat antusias dia. Dan seperti biasa juga, aku bersandar pada kesibukanku. Tapi sepertinya gagal. Ibu malah bilang mau kesini. Rindu katanya. Aku bilang lagi deadline, Ibu bilang mau sabar menunggu di rumah budeku. Skak mat."
"Woah, kayaknya barang baru ini agak lebih berbobot ya? Sampai Ibu Suri rela datang kesini. Kapan katanya mau kesini?"
"Sabtu depan katanya. Sekalian ada acara keluarga sepertinya. Arrrgghh semoga aku gak dipaksa untuk ikut. Acara keluarga itu semacam neraka bagiku. Akan banyak pertanyaan ini itu yang gak jauh-jauh dari 'sudah ada calon menantu ibumu?' Ya Tuhan."
"Sepertinya kamu memang harus cari strategi baru. Tapi, inget. Kamu gak bisa selamanya terus menghidar seperti ini. Mungkin Ibu Suri merindu punya cucu lagi."

Ah. Punya cucu? Memang hanya itu yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Paradigma yang berkembang selama ini menyatakan bahwa pernikahan itu ya esensinya memiliki keturunan sendiri. Dan aku tidak pernah setuju dengan pemikiran ini. Bagaimana tidak, sudah terlalu banyak aku mendengar kasus istri yang ditinggalkan hanya karena tidak bisa memberi keturunan. Memang ada yang menginginkan dirinya mandul? Masa seenaknya meninggalkan cuma karena harus bisa memberi keturunan asli. Mengapa tidak adopsi? Masih banyak anak-anak di sana yang haus kasih sayang orang tua. Orang tua bukan hanya orang yang ada hubungan secara biologis kan? Mereka yang tulus merawat tanpa pamrih pun masuk dalam definisi orang tua menurutku.

That's why I have my own fear about marriage. Aku tidak mau memiliki suami yang mengharuskan ada keturunan dari rahimku sendiri. Oh, bukan hanya suami, tapi juga keluarga suami. Kalau sampai ada yang mengharuskan seperti itu dan kondisiku ternyata tiba-tiba dinyatakan tidak bisa mengandung dengan rahim sendiri, lalu apa? Meninggalkanku seperti mereka? Oh, lebih baik aku tidak usah menikah kalau begitu pemikirannya.

Aku selalu mengingat apa yang pernah dikatakan temanku tentang sebuah pernikahan. Kira-kira begini bunyinya:
"Kamu mau menikah karena apa? Mau punya anak? Mau tetap sama dia sampai seterusnya? Atau cuma mau halal aja? Jawab dulu pertanyaan ini agar kamu bisa melangkah lebih pasti."

Pernikahan dengan segala problematikanya sepertinya sudah kalah jauh jika dipertarungkan dengan kecintaanku pada pekerjaan yang kujalani saat ini. But I once dream about married at young age, like 27th. Mimpi bocah ingusan 20 tahun who didn't know that working with passion is so damn addictive that you wanna marry no one, but your job. Look at me now. my dear 20th, I am 28th and still haven't married anyone yet. But thank you for dreaming.

"Kamu kan tau, aku belum mau nikah. Menikah itu terlalu.."
"Yes, I know, dear. But I know you will someday."
"Maybe..."